Oleh: Rizq Sopiyandi
Belum lama ini, seperti kita ketahui bersama ada sebuah film yang mempunyai sebuah judul yang menarik yaitu, “lucunya negeri ini”. Film yang bercerita tentang anak-anak jalanan yang kesehariannya adalah para pencopet dan sudah pastilah sangat jauh dari pendidikan lalu derajat mereka pun terangkat ketika dunia pendidikan hadir ditengah-tengah mereka.
Ada satu pesan yang bisa kita ambil dari film tersebut. Yakni, bagaimana dunia pendidikan –dalam hal ini sekolah- adalah suatu media meningkatkan kualitas mental, intelektualitas dan mempertegas potensi hingga menciptakan diri-diri yang cerdas dan unggul. Itulah manfaat pendidikan yang tercermin dari film tersebut.
Haidar Bagir (penulis dan pengamat pendidikan) pada suatu acara di TV swasta berpendapat bahwa, sistem pendidikan yang baik adalah sistem pendidikan yang membentuk kesadaran dan kepekaan para pelaku pendidkan terhadap suatu permasalahan kehidupan bermasyarakat. Atau kita lihat bagaimana sejarah mencatat bagaimana perjuangan seorang R.A Kartini, Rahmah El-Yusuniah ataupun Nya’i ahmad Dahlan yang menjadikan Pendidikan pada bidang mereka masing-masing sebagai media untuk meningkatkan derajat kaum wanita pada waktu itu. Benang merahnya adalah Pendidikan yang mempengaruhi suatu struktur atau tatanan sosial, bukan sebaliknya.
Namun desawa ini tidaklah aneh, ketika persepsi tentang kualitas intelektual dilihat dari penilaian simbolis. Banyak memang hal yang membentuk sistem pendidikan seperti ini. Dan yang utamanya adalah paradigma kita sendiri tentang sistem pendidikan. Paradigma seperti “akan kerja dimana ketika saya lulus dari sekolah atau kuliah”. Sehingga membungkam kesadaran para pelaku pendidikan untuk mengkiblatkan diri kepada pragmatisasi.
Menjurus kepada jurusan kita Komunikasi dan Penyiaran Islam. Sudah saat dini para Mahasiswa dibentuk dengan dalih spesialisasi. Yang pada akhirnya Mahasiswa-mahasiswa yang terlena akan melihat ini sebagai bekal untuk dia bekerja di TV, Film, Radio, atau Media cetak.
Sayangnya, tak perlu lah kita bersusah payah dengan belajar kurang lebih 4 tahun untuk seperti itu. Cukup dengan pelatihan selama 6 bulan yang diadakan oleh stasion TV atau seleksi di media cetak kita sudah bisa menjadi seorang pekerja TV ataupun Media Cetak seperti halnya yang dilakukan seorang Alvito Dinova (Jurnalis TV One) yang notabene adalah seorang sarjana ekonomi.
Maka sudah menjadi seharusnya, lulusan seorang KPI bukan lah bercita-cita menjadi seorang pekerja media akan tetapi seorang lulusan KPI adalah orang yang mempunyai media itu sendiri. Orang yang mempunyai konsep, orang yang mempunyai strategi managemen media yang baik dan orang yang berpikiran luas yang menjadikan media sebagai fungsi kontrol masyarakat.
Olah karena itu, sudah sepatutnya keseeimbangan antara prestasi simbolisas dan kualitas berjalan berdampingan dengan managemen hidup yang baik. Tidak hanya terkukung dalam gedung kelas yang berukuran 8x12 meter atau lebih dalam mencari ilmu, tapi lihat dan manfaatkan dunia yang begitu luas untuk kita jadikan kelas untuk belajar. Dan biarkan penilaian yang tersimbolkan pada tangan Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar