Kata Da’I/da’iyah menurut bahasa adalah isim fail berwazan fa’ilah dari kata da’aa, yad’uu, daa’in. kata da’iyah bermakna suara kuda dalam suatu peperangankarena ia menjawab orang yang berteriakteriak memanggilnya.[1]
Nabi adalah da’I Allah, seperti tertulis dalam ayat berikut:
“Dan untuk menjadi penyeru kepada agaa Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi.”[2]
Ia juga bermakna Muadzin, karena ia mengajak kepada sesuatu yang dapat mendekatkan kepada Allah. Bentuk jamak Dai adalah Du’at atau Da’uun seperti kata Qadhi bentuk jamaknya adalah Qadhuun,[3]
Du’at menurut bahasa adalah kata umum mencakup Du’at kebaikan atau du’at keburukan dan kesesatan.[4] Maka setiap orang yang membawa fikroh(ide), lalu ia mengajak dan mengundang orang lain kepadanya, apakah fikroh tersebut baik atau buruk, ia disebut da’iyah menurut bahasa.[5] Da’iyah pertama adalah dalam umat ini adalah rosullulah SAW sebagai mana tertulis dalam ayat berikut:
“Hai nabi, sesungguhnya kami mengutusmu untuk menjadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izinnya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi.” [6]
Penjelasan tentang dakwah yang dilakukan oleh orang-orang selain Rasul terdapat dalam ayat berikut: ‘Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata sesungguhnya aku termasuk orangorang yang menyerahkan diri.’[7]
Dalam ayat ini terdapat sanjungan dan pujian untuk para du’at karena tidak ada satupun yang lebih baik perkataannya disbanding mereka.[8]
Da’I secara istilah adalah orang Islam yang secara syariat mendapat beban dakwah mengajak kepada agama Allah. Tidak diragukan lagi bahwa defginisi ini mencakup seluruh lapisan dari rasul, ulama, penguasa setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan.[9]
Kepribadian Dai adalah sifat atau akhlak yang harus tertanam dalam diri seorang dai, yang mengemban amanah berdakwah dijalan Allah.
Urgensi Ilmu dan Akhlak bagi para Da’i
Dalam pribadi seorang da’i baik bagi mereka yang sedang dalam proses pembentukan maupun mereka yang telah terjun ke lapangan, tidaklah dapat melepaskan dirinya dari dua bekal utama yaitu; ilmu dan akhlak. Kedua-duanya menjadi amunisi bagi da’i dalam aktifitasnya.
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik”.[10]
Setidaknya ada tiga hal pokok yang dapat digaris bawahi dalam ayat ini, kaitannya dengan tugas da’wah. Pertama, da’wah harus berdasarkan manhaj yang benar (hâdzihi sabîlî), kedua, seruan da’wah seluruhnya terfokus hanya kepada Allah (ilallâh), dan ketiga, semua itu harus berdasarkan pada ilmu yaqin atau hujjah yang kuat (basyîrah). Sedangkan ayat-ayat yang memerintahkan seseorang untuk berakhlaq mulia adalah ayat-ayat yang berbicara dalam konteks berbuat baik (ihsan), sebab berbuat ihsan merupakan salah satu bentuk akhlaq mulia. Ayat-ayat tersebut berlaku secara umum bagi kaum muslimin baik ia da’i maupun mad’u, sebagaimana Al Imam Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullâh ketika mejelaskan hadits (وَ خَالِقِ النّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ)[11] menjelaskannya dengan ayat-ayat tentang ihsan dan taqwa. Karena ilmu dan akhlaq merupakan syari’at Allah yang agung, maka seorang da’i berkewajiban untuk senantiasa berusaha berpegang teguh dengannya. Perkara ini menjadi begitu penting karena da’i memikul amanah yang berat sebagai pewaris risalah da’wah. Allâhuyarham Dr. M. Natsir didalam bukunya “Fiqhud Da’wah” berpesan; “Ummat Islam adalah pendukung amanah, untuk meneruskan Risalah dengan da’wah; baik sebagai umat kepada umat-umat yang lain, ataupun selaku perseorangan ditempat manapun mereka berada, menurut kemampuan masing-masing.” Dari pernyataan ini, memang pada asalnya seorang muslim dituntut untuk berda’wah sesuai dengan kemampuannya, akan tetapi selaku kader da’i tentunya tuntutan itu jauh lebih besar dirasakan dan amanah yang dipikul juga jauh lebih berat untuk diemban.
Imam Al Bukhari di didalam shaihnya membuat satu kumpulan hadits tentang ilmu dalam bab tersendiri ya’ni Kitâb al ‘Ilmi. Untuk menunjukkan hujjah hadits-hadits tersebut Al Bukhari memulainya dengan menyebutkan dua ayat al Qur’an (surah Al Mujadalah: 11 dan Tâhâ: 114). Beliau menempatkan dalam urutan pertama hadits tentang “amanah”, kaitannya dengan kredibelitas seseorang dalam memikul amanah tersebut. Hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah ra itu menceritakan pernah suatu ketika di dalam majelis Rasulullah, tiba-tiba Nabi ditanya oleh seseorang; “Kapan kiamat tiba ?.” Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat sebagian sahabat yang membersamai Nabi tanpak tidak menyukai sipenanya. Maka Rasulullahpun bertanya; “Siapa yang bertanya tentang kiamat tadi ?” seseorang kemudian menjawab; “Saya ya Rasulullah” maka beliau menjawab; “Apa bila anamah telah hilang, maka tunggulah tibanya kiamat.” Orang tadi bertanya lagi; “Bagimana (bentuk) hilangnya ?” Nabi menjawab; “Apabila suatu perkara dipikulkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat itu.”
Pengarang kitab ‘Aunul Bâri li Halli Adillati al Bukhâri Al ‘Alamah shadiq Hasan Khan rahimahullâh (W. 1307 H) menjelaskan bahwa makna al amru (perkara) di dalam lafadz hadits di atas berma’na; al amru muta’allaq bid dîn (perkara yang berkaitan tentang agama), seperti Khalifah, Mufti atau Qadhi atau semisalnya. Artinya, jika tempat-tempat tersebut diduduki bukan oleh pakarnya, maka itulah yang dimaksud dengan hilangnya amanah atau menempatkan sesuatu bukan kepada ahlinya, yang merupakan tanda dekatnya akhir zaman. Hadits lainnya yang memberikan kolerasi tentang fenomena ilmu agama di akhir zaman adalah sabda Nabi;
Artinya : “Diantara tanda-tanda hari kiamat adalah diambilnya ilmu dari al-ashoghir (orang yang bodoh atau ahli bid’ah)”[12].
Yang dimaskud Ilmu didalam hadits ini adalah ilmu tentang agama (ad dîn). Oleh karenanya Al Imâm Muhammad bin Sirin rahimahullâh seorang tabi’in yang mulia memberikan tanbih bahwa: “Ilmu ini adalah agama itu sendiri. Maka lihatlah darimana kamu mengambil ilmu tersebut” dan dari ucapan beliau juga : “Dahulu para salaf (sahabat) tidak pernah bertanya tentang isnad tapi ketika terjadi fitnah, mereka bertanya: Siapa guru-gurumu ? Jika guru tersebut dari ahli sunnah maka diambil haditsnya tapi jika dari ahli bid’ah maka ditolak haditsnya.”
Panduan Akhlak bagi Da’I
Agar amanah da’wah ini dapat diemban dengan baik oleh kader da’wah yang sedang menjalani proses thalabul ‘ilmi, maka nasihat para ulama tentang akhlaq bagi penuntut ilmu sangat baik untuk dijadikan pedoman. Kami mencoba mensarikan dari sejumlah pandangan para ulama seperti; Syaikh Ibnu Baaz rahimahullâh, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullâh, Dr. Shalih As Suhaimi, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr rahimahullâh, dan lain-lainnya. Semoga bermanfaat;
1. Ikhlas. Dalam sebuah hadits juga disebutkan; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu syar’i yang semestinya ia lakukan untuk mencari wajah Allah dengan Ikhlas, namun ia tidak melakukannya melainkan untuk mencari keuntungan duniawi maka ia tidak mendapatkan harumnya surga pada hari kiamat.”[13] Syaikh Abdullah Ibnu Baaz rahimahullah berkata; ”Wajib bagi setiap da’i untuk mengikhlaskan diri kepada Alloh Azza wa Jalla, bukan karena keinginan untuk riya’ (pamer supaya dilihat orang) dan sum’ah (pamer supaya didengar orang) dan bukan pula untuk mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Hanya saja ia berdakwah kepada Allah untuk mengharap wajah Allah Jalla wa ’Ala semata, sebagaimana firman Alloh Subhanahu :
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ
”Katakanlah: Inilah jalanku, Aku menyeru hanya kepada Alloh.”[14]
2. Mengawali dengan Memdalami Aqidah . Dr. Shalih As Suhaimi mengatakan, wajib bagi penuntut ilmu untuk memulai mendalami masalah aqidah, dan menda’wahkan aqidah sebagai permualaan sebelum yang lain. Maka benarlah perkataan Al Imâm Ibnu Qayyim Al Jauziyah sebagimana dijelaskan dalam kitabnya; Madârij as Sâlikîn dimana beliau mengatakan; “Tauhid adalah yang pertamakali diucapkan seseorang ketika pertama kali masuk ke dalam Islam dan yang terakhir kali sesaat sebelum meninggalkan dunia… tauhid adalah awal segala perkara dan akhir dari segalanya.”
3. Menghiasi diri dengan Berakhlaq Mulia. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata; ”Seorang da’i haruslah berperangai dengan akhlak yang mulia, dimana ilmunya tampak terefleksikan di dalam aqidah, ibadah, perilaku dan semua jalan hidupnya, sehingga ia dapat menjalankan peran sebagai seorang da’i di jalan Allah. Adapun apabila ia dalam keadaan sebaliknya, maka sesungguhnya dakwahnya akan gagal, sekiranya sukses maka kesuksesannya sedikit.” Beberapa pesan Rasulullah berikut ini adalah penguatnya;
(1) Rasulullah bersabda; ”Kaum mu’minin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaqnya paling baik diantara mereka, dan yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik kepada isteri-isterinya.” [15]
(2) Rasulullah juga bersabda; ”Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari kiamat melainkan akhlaq yang baik…”[16]
(3) Rasulullah bersabda; ”Sesungguhnya di antara yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat mejelisnya dariku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya di antara kalian.”[17]
4. Tidak larut dalam Ta’asub golongan. Dr. Shalih As Suhaimi berkata, bahwa penuntut ilmu tidak boleh larut dalam kelompok-kelompok yang ada. Ikatan yang terjalin hanya kepada Allah dan bukan pada yang lain. Wala’ hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Syaikh Ibnu Baaz juga mengatakan; “Merupakan kewajiban bagi setiap da’i islam untuk berdakwah menyeru kepada Islam secara keseluruhan dan tidak memecah belah manusia, tidak menjadi orang yang fanatik (muta’ashshib) kepada madzhab tertentu, atau kabilah tertentu, atau fanatik kepada syaikhnya, atau kepada pemimpinnya, atau selainnya. Namun yang wajib baginya adalah menjadikan tujuannya adalah untuk menetapkan kebenaran dan menjelaskannya, menjadikan manusia lurus berada di atas kebenaran, walaupun menyelisihi pendapat Fulan atau Fulan atau Fulan.
5. Menyibukkan waktu dengan ilmu. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr berkata; ”Hendaklah ia (penuntut ilmu) menyibukan dirinya dengan mencari ilmu yang bermanafaat dari pada ia sibuk melakukan celaan dan tahziran, dan giat serta bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu tersebut supaya ia mendapat faedah dan memberikan faedah.” Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam bersabda, “Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”[18]
6. Menghiasi diri dengan taqwa dan menjauhi maksiat. Bagi Imam As Syafi’i rahimahullâh. Ilmu adalah cahaya. Ia melukiskan dalam ba’it sya’irnya yang terkenal setelah pengaduannya kepada Imam Waki’ ;
7. Sabar dalam proses belajar dan Syukur akan ilmu yang telah didapatkan. Seorang penuntut ilmu wajib bersabar atas segala keterbatasan yang menimpa dirinya, baik dalam bentuk harta, fasilitas, tugas-tugas dan lain sebagainya seraya tetap semaksimal mungkin untuk mengusahakannnya seraya bersyukur atas ni’mat yang diberikan, hingga Allah akan selalu menambahkannya. Salah satu bentuk akhlak ini adalah senantiasa berdo’a agar ditambahkan ilmu oleh Allah, karena sesungguhnya Rasulullah tidak pernah diperintahkan Allah untuk meminta tambahan atas sesuatu selain meminta agar ditambahkan ilmu. Allah berfirman;
”Dan Katakanlah (Muhammad): “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”[19]
Dan dalam setelah selesai shalat subuh Nabi juga sering berdo’a dengan do’a ini;
“Ya Allah! Sesungguhnya aku mo-hon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal dan amal yang diteri-ma.”[20]
Sifat-sifat Da’i
Orang yang menyeru kepada Allah harus senantiasa mempelajari sunnah Rosulullah, perjalanan hidupnya serta akhlaknya. Dengan begitu ia dapat mengenali rambu-rambu jalan dan mampu mengatasi kesulitan-kesulitannya, dapat menentukan tujuan perjalanannya dan dapat mencari sarana-sarana yang benar untuk mengantarkannya pada tujuan tersebut.Seorang da’i, taufiqnya sangat bergantung pada sejauhmana ia berqudwah kepada Rosulullah. Seruannya tidak akan bisa lekat di hati masyarakat kecuali dengan membeikan keteladanan yang baik
Diantara sifat-sifat yang harus dimiliki seorang da’i adalah:
1. Amanah
Amanah adalah sifat yang harus dimliki seorang da’i sebelum sifat yang lain. Ia merupakan sifat yang dimiki oleh seluruh nabi.
2. Shidq
Shidq berarti kejujuran dan kebenaran.
- Shidq dalam perkataan (Shidqul Qaul)
Seorang da’i hendaklah tidak berbicara kecuali dengan jujur
- Shidq dalam niat dan kehendak (Shidqunniyyah)
Tidak ada motivasi dalam gerak atau diamnya selain karena Allah
- Tekad yang benar (Shidqul ‘Azm)
Yaitu semangat yang kuat, tidak ada kecenderungan lain, tidak melemah dan tidak ragu-ragu
- Shidq dalam menepati janji
- Shidq dalam bekerja
Bersungguh-sungguh dalam beramal sehingga apa yang tampak dalam perbuatannya adalah apa yang ada dalam hatinya
3. Ikhlas
Seorang da’i harus mengikhlaskan seluruh amalnya kerena Allah.
“Ikhlaskanlah amalmu, maka akan cukup bagimu amal yang sedikit.” (Al Hadits)
4. Rahmah, Rifq, Hilm
Seorang da’i harus bersikap kasih sayang, lemah lembut dan penyantun. Wujud dari kasih sayangnya adalah menginginkan kemudahan karena Allah sendiri menghendaki kemudahan bagi kita.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu”[21]
Wujud lemah lembut da’i adalah dengan tutur kata yang baik.Sifat hilm (penyantun) seorang da’i mendahului ketidaktahuannya. Rosulullah adalah da’I yang pertama yang dianugerahi oleh Allah sifat-sifat seperti dalam firman Allah:
“Sesungguhnya terasa berat olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min”[22].
5. Shobr
Rosulullah memasukkan sabar sebagai separuh iman. Separuh iman adalah syukur dan separuhnya adalah sabar.Kesabaran tidak idetik dengan menyerah, tidak berusaha atau menghinakan diri. Kesabaran adalah tetap teguh di atas al Haq meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi.Sikap isti’jal (tergesa-gesa) tidak termasuk sabar. Demikian juga sikap wahn.
Seorang da’I tidak sempit dada ketika dicaci maki oleh musuhnya, demikian juga atas makar dan tipu daya yang dibuat oleh mereka.Seorang muslim ditutut untuk bersabar dan sabarnya adalah karena Allah, berbeda dengan sabar yang dimiliki oleh orang-orang kafir
6. Hirsh
Seorang da’I harus memiliki perhatian yang besar kepada objek da’wahnya, sampai yang besangkutan merasakan adanya perhatian besar tersebut. Perasaan seperti ini akan mampu membuka hati dan menggugah perasaan sehingga sag mad’u siap untuk mendengarkan apa yang disampaikannya.
7. Tsiqoh
Keimanan seorang da’I sangat dalam dan kepercayaannya sangat besar terhadap kemenangan agama ini. Ia percaya bahwa sesungguhnya Islam ini akan dimenangkan umatnya, mardeka daulahnya, berkibar tinggi panji-panjinya, ajarannya akan tersebar di seluruh penjuru bumi meskipun musuh-musuh terus menerus membuat makar.
Sebagian kaum muslimin salah paham. Ketika jalan da’wah terasa panjang bagi seorang da’I, bertahun-tahun ia berda’wah tetapi kemenangan belum juga terwujud, lalu mereka menganggap bahwa da’wah telah gagal dan da’inya pun lemah.
Juga ada sebagian da’I bersikap sinis terhadap mad’unya. Apabila ia telah menda’wahi mereka sekali dua kali, kemudian para objek da’wah tidak mau menyambut ajakannya, ia mengklaim mereka sesat, meskipun tidak sampai pada tuduhan kafir.
Kemenangan itu pasti akan tiba dengan izin Allah, akan tetapi mebutuhkan kerja keras, ketekunan dan da’wah yang kontinyu. Da’I harus senantiasa bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat, ikut serta bersama mereka serta turur merasakan apa yang mereka rasakan.
8. Wa’iy
Adalah keharusan bagi seorang da’I untuk membekali dirinya dengan berbagai tsaqofah dan pengetahuan tentang hal itu baik yang berkaitan dengan agama, pemikiran, politik, maupun masalah gerakan da’wah itu sendiri. Seorang da’I memerlukan fiqhud Da’wah.
Selain itu, Pembentukan kepribadian seorang da’I merupakan bekal asasi dalam mengemban tugas dakwah. Iman, ikhlas, berani, sabar, dan optimisme merupakan prinsir utama dalam membentuk kepribadian. Berikut ini adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang dai berdasarkan pendapat para ahli:
Syekh Ali Mahfuz
Menurut Syekh Ali Mahfuz ada beberapa hal yang harus dimiliki seorang Da’I antara lain:
Sesungguhnya kewajiban yang utama atas da’I adalah berilmu dengan al-Qur’an. Yang dimaksud dengannya adalah pendalaman padanya, dihadapkan segala sesuatu pada kandungannya karena dia merupakan petunjuk dan pengajaran dan ibarat. Dan denikian juga halnya sunnah dan apa-apa yang telah sah dari semua ucapan Rasul dan sejarah kehidupannya dan sejarah kehidupan khulafaurrasyidin dan sejarah kehidupan kaum salaf yang shaleh.
mengamalkan ilmunya, perbuatan tidak membohongi perkataannya, dan juga tidak menyalahkan zahirnya dan bathinnya. Bahkan dia menyuruh sesuatu apa-apa yang tidak ada, dia sebagai orang pertama yang melakukannya, juga dia melarang sesuatu, kalau tidak dia sebagai orang pertama meninggalkannya agar berfaedah pengajarannya dan mendatangkan hasil.
penyantun dan berlapang dada, maka kesempurnaan sesuatu ilmu terletak pada sifat penyantun dan kelembutan ucapan merupakan alat pembuka hati, maska dari kesemuanya itu akan memberikan daya mampu untuk menghilangkan penyakit-penyakit jiwa dan hati.
keberanian itu berarti seseorang tidak takut dalam menyatakan kebenaran dantidak akan terambil/terangkat pertolongan allah karena celaan orang yang mencela. Hal ini sesuai dengan hadist dari ubadah bin shammat ra berkata :dia berkata kami berjanji terhadap rosul bahwa kami akan mengatakan keberadaan dimanapun kami berada, dan kami tidak merasa takut terhadap celaan orang yang mencela selama dalam urusan kepada Allah.
bersih diri dantidak silau pandang kepanasan terhadap apa yang ada p[ada tangan orang lain maka barang siapa yang tidak tergiur terhadap apa-apa yang ada pada tangan manusia lain berarti dia terkaya dari orang yang banyak maka dia akan tetap sebagai penghulu yang disayangi lagi terhormat juga akan jadi penberi yang akan berguna sebab demikian manakala sikfat-sifat itu dijauhkan atau masih tergiur terhadap pada apa yang ada pada tangan manusia maka pasti orang menukar agamanya dengan dunia.
berilmu dengan keadaan ummat penerima dakwah sehubungan tugas-tugas mereka, adapt istiadat tabiat-tabiat yang berlaku dalam negri mereka, akhlak mereka atau segala pa yang berkembang dengan kebiasaan masyarakat mereka [23]
Imam Ahmad Mustafa Al Maraghi
Menurut Imam Ahmad Mustafa Al Maraghi ada empat sifat yang harus dimiliki oleh dai antara lain
Hendaklah alim(mengetahui) dalam bidang alquran, sunnah dan sejarah kehidupan rosul SAW dan khulafaur rasyidin ra.
Hendaklah pandai membaca situasi ummat yang diberi dakwah baik dalam urusan bakat, watak sdan akh;ak mereka atau ringkasnya mengetahui kehidupan mereka.
Hendaklah mengetahui bahasa ummat yang dituju oleh dahwahnya. Rosulullah sendiri memerintahkan sebagian sahabatnya agar mengetahui bahasa ibrani, karena beliaupun perlu berdialog dengan yahudi yang menjadi tetangga beliau dan untuk mengetahui hakikat keadaan mereka.
mengetahui agama, aliran dan madzhab ummat dan dengan demikian akan memudahkan juru dakwah engetahui kebatilan-kebatilan yang terkandung padanya dan tidak akan sulit baginya memenuhi ajakan kebenaran yang didengungkan oleh orang lain sekalipun orang tersebut telah mengajaknya.[24]
Prof. Mahmud Yunus
menurut prof. Mahmud Yunus ada empat belas sifat yang harus dimiliki seorang dai antara lain:
Mengetahui alquran dan sunah
mengamalkan ilmunya
penyantun dan lapang dada
berani menerangkan kebenaran agama
menjaga kehormatan diri
mengetahui ilmu masyarakat, sejarah ilmu bumi,jiwa akhlak perbandingan agama dan ilmu bahasa
mempunyai keimanan yang kuat dan kepercayaan yang kokoh kepada allah tentang janjinya yang benar
menerangkan mengajarkan ilmu yang diketahui dan janganlah menyembunyikan ilmu
tawadu dan rendah hati
tenang bersikap sopan , tertib dan bersungguh-sungguh
[12]Syaikh Albani di dalam Silsilah Ahâdits Ash-Shahîhah, No: 695)
[13] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Ahmad (II/338), Abu Dawud (3664), Ibnu Majah (252), al-Hakim (I/85), Ibnu Hibban (78) dan lainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[15] HR. At Tirmidzi, No. 1162. Lafadz awalnya diriwayatkan oleh Abu Daud, No. 4682, Ahmad (Jilid II, hal. 250, 472), Al Hakim (Jilid I, hal. 3) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu ’anhu. Berkata At Tirmidzi; hasan shahih
[16] HR. At Tirmidzi, No. 2002, Abu Daud, No. 4799, Ahmad (Jilid VII, hal. 446,448) dari sahabat Abu Darda radhiyallâhu’anhu. Berkata At Tirmidzi; hadits ini hasan shahih
[17] HR. At Tirmidzi, No. 2018 dari sahabat Jabir radhiyallâhu’anhu Berkata At Tirmidzi; hadits hasan
[18] Hadits Shahih diriwayatkan oleh : al-Bukhari (6412), at-Tirmidzi (2304), Ibnu Majah (4170), Ahmad (I/258, 344), ad-Darimi (II/297), al-Hakim (IV/306) dan lainnya dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu
0 komentar:
Posting Komentar