Dunia wanita adalah ladang berita yang tidak pernah kering untuk digali. Berbagai media massa, surat kabar, majalah, radio, televisi, acara-acara infotainment, hingga seminar-seminar tidak pernah bosan-bosannya mempersoalkan wanita dengan segala problematikanya. Mulai dari isu-isu feminisme, emansipasi, kesetaraan gender, wanita karier, pelecehan seksual, eksploitasi wanita, hingga perselingkuhan menjadi berita dimana-mana dengan aktor utamanya adalah wanita! Adalah wajar jika kemudian wanita –selain- menjadi sasaran empuk para gossiper (tukang gossip) untuk dijadikan bahan pemberitaan, pada saat yang sama mereka juga menempati rangking pertama yang paling doyan dengan bergossip ria.
Jika kita mendengar kata wanita atau perempuan, maka yang terbayang dalam benak adalah sosok manusia yang sarat dengan kasih sayang, kelemah lembutan, kedamaian, pengorbanan, pengabdian yang tulus dan seabreg sifat-sifat santun dan mulia lainnya.
Ditangannya yang dinginlah banyak ditentukan maju dan mundurnya sebuah peradaban. Dalam dekapan hangatnyalah terlahir generasi yang akan menentukan warna atau corak generasi kini dan mendatang apakah akan menorehkan sejarah dengan tinta emas atau justru tinta kelam. Desah suaranya yang sayu mendayu mampu meluluhlantakkan watak keras lelaki manapun.
Tidak sedikit pemimpin-pemimpin dunia yang sukses dan tegar karena ada wanita dibelakangnya. Begitu pula sebaliknya karir seorang lelaki bias jatuh berantakan karena kaum hawa. Oleh karena itu tidak berlebihan jika kemudian Napoleon Bonaparte si penguasa dua daratan eropa (meminjam istilah Zainuddin M.Z.) pernah berkata: “wanita… dengan tangan kanannya menggoyang ayunan, dan dengan tangan kirinya menggoyang dunia”.
Fakta memang membuktikan bahwa dalam siklus peradaban dunia yang kita huni sempat “digoyang” oleh makhluk yang bernama wanita ini. Bukankah terjadinya pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia antara Habil dan Qabil karena wanita yang bernama Iqlima? Bukankah karena wanita maka sipenguasa lalim dan kejam Fir’aun luluh hatinya untuk tidak membunuh si kecil Musa? Bukankah karena wanita, maka si anak durhaka Alqamah terselamatkan dari api yang akan membakar dirinya saat ajal menjelang?
Adalah Syabina Begum, nama seorang remaja putri siswa SMA Denbigh Luton Inggris yang sempat menjadi perbincangan hangat di media-media Eropa pada tahun 2004 menyusul perlawanannya terhadap kebijakan sekolah yang melarangnya mengenakan jilbab. Tahun 2006-2007 jagad dangdut Indonesia digoyang oleh Inul “ainurrahimah” Daratista dengan aksi ngebornya.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa wanita –sebagaimana disebut oleh seorang budayawan- adalah akal, perasaan, kasih sayang, kejujuran dan pengorbanan. Wanita adalah kumpulan nilai luhur. Kalau kita didik ia dengan baik, maka wanita akan membumbung tinggi kelangit, mencapai tempat yang tak dapat dicapai kaum pria. Tapi kalau kita abaikan pendidikannya, maka ia akan jatuh kelembah nista yang sangat dalam yang tidak akan pernah dicapai oleh kaum pria.
Namun demikian siapakah wanita itu sebenarnya? Begitu misteriuskah dia? Begitu berbahayakah mereka? Bagaimana peradaban masa lalu memperlakukan wanita? Bagaimana pula pandangan Islam terhadap wanita? Apa saja hak dan kewajiban wanita dalam Islam? Dalam hal apa wanita sama dengan laki-laki dan dalam hal apa berbeda? Bagaimana pandangan Islam tentang gerakan emansipasi yang banyak disuarakan kalangan aktifis gender dan feminis?
Wanita, bukan betina!
Konon kata wanita (perempuan) berasal dari bahasa sansekerta bonita yang artinya mulia, cantik dan berkepribadian. Dalam bahasa Indonesia hurup B berubah menjadi W karena kedua-duanya sama-sama hurup bibir. Perubahan itu tidak merubah arti dari kata itu. Salah satu kota di Jerman bernama kota Bon, yang berarti cantik. Sedangkan betina sebenarnya tidak jauh dari kata batina. Perbedaan hanya pada hurup B dan W yang juga sama-sama hurup lidah. Betina memiliki konotasi makhluk bebas nilai yang hanya cocok untuk binatang.
Dengan demikian keduanya memiliki persamaan dan perbedaan mencolok. Persamaannya adalah, bahwa keduanya sama-sama berjenis kelamin feminis lawan dari maskulin. Perbedaannya adalah kalau wanita (idealnya) memiliki sifat luhur, nilai moral yang kuat, berkepribadian, sehingga dalam melakukan sesuatu biasanya wanita selalu mengedepankan pertimbangan moral, baik moral masyarakat umum maupun agama. Sedang betina tidak. Ia hanya menilai sesuatu atas dasar suka sama suka termasuk aktifitas seksualnya. Tanpa peduli halal-haram, norma agama, apalagi norma masyarakat. Baginya, saya betina dia jantan, saya suka dia suka. Tak peduli dia punya suami atau anak, tak peduli itu teman, tetangga, bahkan anak atau ayah sekalipun. Persis seperti ayam. Istilah “ayam kampus” tampaknya berhubungan dengan diatas. Karena itu jika ada wanita yang bergaya hidup seperti diatas maka dia bukanlah wanita tapi…
Soo.. What is in a name? demikian ungkapan masyhur dari seorang pujangga William Shakespeare. Sementara orang menafsirkan perkataan sang pujangga tadi, yang penting bukan namanya, tapi substansinya. Mau wanita atau perempuan sama saja, asal bukan betina. Sama-sama suatu jenis makhluk manusia yang paling berjasa bagi speciesnya secara biologis. Berkat peranyalah umat manusia bisa berkembangbiak, berganti dari tiap generasi ke generasi.
Tapi tidak demikian dengan kaum feminis Indonesia, mereka lebih senang menggunakan kata perempuan dibanding wanita. Padahal W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia justru mengatakan bahwa kata wanita lebih halus dari perempuan (W.J.S. Poerwadarminta: 1966). Lebih lanjut dikatakannya; wanita: (orang) perempuan (lebih halus); kaum wanita, kaum putri: kewanitaan: sifat-sifat wanita; yang berkenaan dengan wanita; keputrian. Sementara dalam mengartikan perempuan ia mengatakan: perempuan adalah jenis sebagai lawan laki-laki atau bini.
***
Wanita Dalam Lintas Sejarah
a. Wanita Dalam Peradaban Yunani
Dengan segala kelebihan yang dimilikinya tadi tidaklah lantas membuat wanita mendapat penghargaan dan kedudukan terhormat dalam sejarah peradaban umat manusia. Terlebih saat Islam dengan perangkat ajarannya belum menyambah peradaban dunia. Sejarah mencatat bahwa sebelum Islam datang dunia sudah mengenal dua peradaban besar: Yunani dan Romawi. Bagaimana kedua peradaban terbesar dunia tersebut memperlakukan wanita?
Masyarakat Yunani, negeri tempat lahirnya para filosof dunia mengurung wanita-wanita kalangan elit didalam istana. Sedangkan wanita-wanita kalangan bawah diperjualbelikan di pasar-pasar layaknya barang dagangan. Wanita yang telah berkeluarga sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak punya hak-hak sipil sama sekali. Mereka tidak dipandang sebagai sebagai ahli waris dari keluarganya yang meninggal. Dipuncak peradabannya wanita-wanita itu diberi kebebasan untuk memenuhi kebutuhan dan selera kemewahan kaum lelaki.
Perlakuan bangsa Yunani terhadap wanita tersebut karena didasarkan pada mitologi-mitologi yang beredar dimasyarakat pada saat itu. Dalam kisah yang turun temurun diwariskan masyarakat Yunani kuno disebutkan bahwa wanita adalah pangkal kekacauan dan kejahatan dunia. Konon menurut pemuka-pemuka agama Yunani, segala kejahatan, kekacauan, dan penderitaan yang menghantui dunia karena ulah Pandora, wanita bodoh yang tidak patuh pada suaminya dengan membuka kotak yang berisi segala yang negatif tadi.
E.A. Allen dalam History of Civilization sebagaimana dikutip Gamal A. Badawi menyebutkan: kaum wanita Athena selamanya adalah kaum rendahan yang berada dibawah kekuasaan kaum laki-laki-ayah, saudara laki-laki, atau sanak laki-laki tertantu (Khurshid Ahmad: 1983). Sebagai dampak dari perlakuan tersebut adalah merajalelanya kemaksiatan, hubungan seks bebas disahkan, tempat-tempat pelacuran, rumah-rumah bordil menjadi pusat kegiatan politik, sastra dan seni. Sisa-sisa perabadan mereka masih dapat kita saksikan dalam bentuk patung-patung wanita telanjang atau karya-karya sastra yang menceritakan pengkhianatan dewi-dewi terhadap dewa-dewa.
***
b. Wanita Dalam Peradaban Romawi
Pandangan rendah terhadap wanita masih tetap tertanam kuat dalam peradaban selanjutnya. Ketika raja-raja Romawi meneruskan peradaban pendahulunya, mitologi Yunani sebagaimana yang disebut di atas mereka ambil secara total tanpa melalui penyaringan. Kalaupun ada yang berubah itupun hanyalah sebatas nama-nama sang dewa-dewi. Tidak hanya disitu, ketika mereka mengambilalih agama Nasrani dan mengubahnya menjadi Katolik, pelecehan terhadap wanitapun masih tetap diwariskan dengan menganggap siti Hawa sebagai sumber kejahatan dan penderitaan manusia dimuka bumi.
Fenomena perselingkuhan dikalangan istana adalah gambaran nyata yang terjadi pada saat itu. Jika wanita sudah menikah, maka kekuasaan sepenuhnya berada ditangan suami. Kekuasaan itu meliputi: wewenang menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh istri. Kekuasaan mereka merupakan kekuasaan kepemilikan bukan penguasaan atau pengayoman. Keadaan tersebut berlangsung hingga abad ke16 masehi.
Sedangkan dalam hak kepemilikan harta, kedudukan wanita tidak diakui sama sekali. Oleh karena itu segala hasil upaya wanita menjadi milik keluarga laki-laki. Ada satu perubahan kecil terjadi pada zaman Constantin yang memperbolehkan wanita menggunakan hak kepemilikan terbatas. Dengan catatan, setiap transaksi harus atas persetujuan kepala keluarga.
Secara ringkas gambaran tentang kedudukan wanita dalam peradaban Romawi dilukiskan sebagai berikut:
Dalam hukum Romawi seorang wanita bahkan pada suatu masa sama sekali berada dalam ketergantungan. Apabila ia kawin, maka ia dan harta miliknya berpindah kedalam kekuasaan suaminya…. Istri adalah milik belian suaminya sebagaimana halnya seorang budak. Ia dibeli hanya untuk kepentingan suaminya saja. Seorang wanita tidak bisa menduduki jabatan sipil atau jabatan-jabatan pada lembaga masyarakat umum.… tidak bisa menjadi saksi, penanggungjawab, guru ataupun kurator; ia tidak bisa memungut anak ataupun dipungut menjadi anak, tidak bisa membuat surat wasiat atau kontrak perjanjian...(Ensiklopedi Britannica: 1911).
***
c. Wanita dalam peradaban Hindu dan Cina
Dalam peradaban Hindu dan Cina kondisi wanita setali dua uang, tidak lebih baik dari peradaban Yunani dan Romawi, bahkan dibawah peradaban mereka perlakuan terhadap wanita jauh lebih buruk. Bagi mereka yang membuka-buka literatur klasik Hindu niscaya akan menemukan bagaimana kejinya perlakuan peradaban Hindu terhadap wanita. Diantaranya jika seorang wanita bersuami ditinggal mati suaminya maka ia harus dibakar mengikuti suaminya. Keadaan semacam itu baru berakhir pada abad ke-17 Masehi.
Wanita pada masyarakat Hindu saat itu sering dijadikan korban sesajen dewa-dewa. Dalam ajaran Hindu kuno dikatakan: racun, ular, dan api tidaklah lebih jahat daripada wanita. Sedang dalam petuah Cina kuno dikatakan boleh mendengar perkataan wanita tetapi sama sekali jangan percaya kebenarannya.
Ensiklopedi Britannica menggambarkan kedudukan seorang wanita Hindu sebagai berikut:
Di India perbudakan merupakan prinsip utama. Siang malam kaum wanita harus dipandang oleh pelindung-pelindungnya sebagai dalam keadaan ketergantungan, demikian sabda Manu. Hukum pewarisan adalah agnatis, artinya menurut garis keturunan laki-laki saja, tanpa mengikutsertakan perempuan. (Ensiklopedi Britannica: 1911 hal. 782)
Dalam kitab-kitab suci agama Hindu juga disebutkan gambaran seorang istri yang baik adalah sebagai berikut: “seorang wanita yang pikiran, pembicaraan dan tubuuhnya selalu dalam penyerahan, akan memperoleh kedudukan yang tinggi di dunia ini, dan di dunia yang akan datang ia akan menempati tempat tinggal yang sama dengan suaminya.
***
Stigma Negatif Barat Terhadap Wanita Islam
Pencitraan negatif tentang Islam yang dilontarkan oleh barat bukanlah hal baru dalam sejarah hubungan Islam-Barat (baca: Kristen). Berbagai upaya dilakukan oleh tokoh dari kedua belah pihak untuk mendinginkan hubungan kedua agama besar ini. Konferensi-konferensi, dialog antar agama, kunjungan pribadi antar tokoh. Namun itu semua tidaklah membuat iklim toleransi, saling menghormati menghiasi hubungan keduanya, justru yang terjadi adalah lebih banyak diwarnai saling curiga.
Kondisi demikian diperparah lagi dengan munculnya penghinaan-penghinaan terhadap simbol-simbol Islam dalam beberapa tahun terakhir ini. Tidak mudah bagi setiap muslim melupakan penghinaan yang dilakukan oleh kartunis Denmark terhadap junjungan umat Islam sedunia. Demikian pula halnya dengan apa yang dilakukan oleh salah seorang anggota parlemen Belanda yang membuat film Fitna. Sebelum mereka berdua telah ada Salman Rusydi melalui novelnya The Satanic Verses.
Selain menjadikan Rasulullah sebagai target penghinaan, orang-orang barat juga menjadikan wanita sebagai objek untuk menjatuhkan Islam. Pada tahun 1843 terbit sebuah edisi antologi Alqur’an karya orientalis Inggris William Lane (1801-1876). Dalam pendahuluan yang dimaksudkannya sebagai pengantar ke ajaran Islam, dinyatakan, antara lain bahwa ajaran yang buruk dalam Islam adalah direndahkannya derajat perempuan (Wahiduddin Khan: 2001).
Dalam konfrensi wanita Internasional yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 1-4 Desember 1997 hasil kerjasama Departemen Agama RI dengan Universitas McGill Kanada diakui adanya tuduhan apriori dari feminis barat terhadap kaum wanita muslim yang sangat menyakitkan. Diantara tuduhan itu menyatakan ajaran Islam tidak memungkinkan wanita muslim (muslimah) memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan pria. Dengan arti kata, wanita muslim adalah manusia kelas dua. Dan masih menurut mereka (feminis barat), hal ini melanggar hak asasi manusia (HAM) mereka. Menurut mereka, kemitraan, kesetaraan, dan persamaan tidak akan ditemukan didunia muslim.
Merekapun menuduh ajaran Islam seperti penafsiran ayat Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam adalah pangkal penyebab utamanya. Artinya wanita memang diciptakan untuk mengabdi kepada pria. Begitu pula tafsiran surat Annisa ayat 34:
ãA%y`Ìh�9$#šcqãBº§qs%’n?tãÏä!$|¡ÏiY9$#ÇÌÍÈ
34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
Menurut feminis Barat, ayat tersebut menjadi bukti nyata bahwa kedudukan wanita memang tidak bisa disetarakan dengan laki-laki. Hal ini diperparah lagi dengan minimnya upaya untuk meng-counter pandangan negatif tadi dari kalangan cendikiawan atau feminis muslim. Kalaupun ada seperti apa yang dilakukan oleh Fatima Mernisi dari Mesir atau feminis lain dari Indonesia, maka gaungnya tidak begitu besar, bahkan hampir-hampir tidak diperhitungkan oleh mereka. Pada akhirnya tuduhan-tuduhan tersebut seolah menjadi kenyataan yang tak terbantahkan.
Tidak bergaungnya suara kaum feminis muslim diperkuat oleh kenyataan-kenyataan dibanyak negara yang mengklaim sebagai Negara Islam, dimana budaya dan keadaan setempat yang tidak memungkinkan kaum wanitanya mengecap kebebasan seperti yang diinginkan pihak Barat. Diantara negara muslim yang sering menjadi simbol penindasan terhadap wanita adalah Arab Saudi, dan Afghanistan saat dikuasai Taliban.
Dalam pandangan mereka, kondisi dan keadaan di negara-negara tersebut merupakan watak asli dari ajaran Islam tanpa mau mereka menoleh negara-negara Islam lainnya seperti Pakistan, Bangladesh, atau Indonesia yang justru pernah dipimpin oleh kepala Negara wanita.
***
Wanita Dalam Pandangan Islam
Kajian sepintas keadaan wanita diberbagai penjuru dunia pada awal abad ke-7 M di atas menggambarkan betapa malang dan terpuruknya kondisi wanita. Wanita hanya dijadikan objek bagi laki-laki, tanpa diberi hak-haknya. Wanita hanya dibebani segala tugas dan tanggungjawab bahkan dihukum jika dianggap lalai dalam melaksanakan tugasnya.
Kondisi tersebut baru berubah saat Islam datang di Jazirah arab melalui ajaran nabi Muhammad saw. Alqur’an mengangkat derajat wanita kepada martabat yang tidak pernah diimpikan orang pada masa-masa sebelum Islam. Kebangkitan Islam tersebut oleh Lothrop Stoddard dalam dalam bukunya The New World of Islam dengan kata-kata:
Bangkitnya Islam, barangkali suatu peristiwa yang paling menakjubkan dalam sejarah manusia. Dalam tempo seabad saja, dari gurun tandus dan suku bangsa terbelakang, Islam telah tersebar hampir menggenangi separo dunia. Menghancurkan kerajaan-kerajaan besar, memusnahkan beberapa agama besar yang telah dianut berbilang zaman dan abad. Mengadakan revolusi berpikir dalam jiwa bangsa-bangsa. Dan sekaligus membina satu dunia baru- Dunia Islam! (Lothrop Stoddard : 1966).
Lebih lanjut ia menjelaskan ada beberapa faktor mengapa Islam begitu cepat berkembang dalam waktu relatif singkat. Diantaranya adalah: pertama, watak orang arab sendiri, kedua, hakikat ajaran nabi Muhammad saw, ketiga, keadaan umum di timur pada saat lahirnya Islam.
Jika peradaban sebelum Islam menempatkan wanita dalam posisi rendah karena mereka diidentikkan dengan pekerjaan rendahan, sumber malapetaka, dan bencana, maka saat Islam datang dengan segenap ajarannya yang memberi perlindungan utuh terhadap wanita dan seluruh umat manusia. Dalam Alqur’an bertebaran ayat yang sarat dengan pesan yang menyegarkan bagi kaum wanita. Setidaknya ada delapan surat dalam Alqur’am yang memuliakan wanita. Surat surat tersebut menyangkut hal-hal penting kewanitaan, sebagaimana yang tercantum dalam surat Annisa, Maryam, Annur, Al-Ahzab, Al-Mujadilah, Al-Mumtahanah, Ath-Thalaq, dan Attahrim.
Surat Annisa sendiri menjadi kebangggaan kaum wanita, karena ayat pertama surat ini mengisyaratkan pola kemitraan (Azzaujiah) yang berlaku bagi manusia dan menjadi pangkal populasi ummat manusia. Ayat tersebut berbunyi:
1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Seorang sarjana merenungkan ayat ini dengan mengatakan: “kiranya tidak ada satu teks pun, baik yang lama maupun baru, yang berbicara tentang kemanusiaan wanita dari segala segi dengan cara yang demikian ringkas, menawan, dalam, orisinal seperti halnya firman ilahi ini (Khurshid Ahmad: 1983).
Dalam ayat lain Alqur’an menekankan konsepsi luhur dan alamiah ini dengan mengatakan:
189.Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur". (Q.S. Al-A’raf)
11. (dia) Pencipta langit dan bumi. dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat. (Q.S. Huud)
72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah ?" (Q.S. An-Nahl)
Khusus tentang hak dan kewajiban wanita, ditegaskan dalam Alqur’an Surat Alhujurat ayat 13:
13. Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Bahkan Alqur’ an juga menyebutkan hakikat wanita itu adalah manusia yang sempurna sama dengan laki-laki dan menjadi pasangan (mitra) laki-laki. Sejalan dengan itu Assunnah juga menegaskan:
الِنسَاءُ شَقِيْقُ الرِجَالِ
Wanita itu belahan laki-laki (H.R.At-Turmuzi dan Abu Daud)
Penegasan-penegasan tersebut merupakan perbaikan mendasar untuk menghapus opini/stigma negatif yang manafikan hakikat kemanusiaan wanita. Lebih jauh Alqur’an dalam ayat-ayat berikut menegaskan kembali tentang hak-hak wanita:
Surat Annisa ayat 124:
124. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.
Almukmin ayat 40:
ô
40. Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.
Annahl ayat 97:
97. Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat-ayat ini membantah pernyataan orientalis Inggris William Lane dan kaum feminis barat sebagaimana disinggung di atas. Tampaknya ayat tersebut terlewatkan oleh mereka atau sengaja mereka lewatkan.
Perbaikan-perbaikan mendasar yang diletakkan Islam menempatkan wanita pada tempat terhormat yang derajatnya tidak kurang dari laki-laki. Baik dalam martabat kemanusiaannya maupun dalam hakikat keberagamaan. Dari dasar-dasar inilah ajaran Islam mengakui hak-hak siipil wanita. Hak-hak yang oleh dunia Barat baru diakui 13 abad kemudian. Setelah sebelumnya kaum wanita barat berjuang keras membela dan memperjuangkan emansipasi (persamaan hak).
Dengan demikian sebenarnya Islam telah memberi ruang dan hak-hak yang luas, menjamin martabat kemanusiaan dan perlindungan derajat kehormatan wanita. Tanpa perlu melakukan revolusi dan perjuangan emansipasi seperti yang dilancarkan kaum wanita barat dan kelompok-kelompok pergerakan wanita (gender).
Peradaban barat saat ini memang mengakui hak-hak kebebasan wanita dalam pergaulan. Namun hal itu cenderung mengeksploitasi kewanitaan demi kepentingan-kepentingan ekonomis dan hasrat rendah kaum laki-laki. Yang pada gilirannya dapat disaksikan: wanita-wanita ditelanjangi, dieksploitasi hanya untuk iklan. Mereka dipajang disetiap etalase toko.
***
Gerakan emansipasi dan feminisme yang digalakkan oleh kalangan wanita semakin berkembang dan terasa akrab ditelinga tiap wanita termasuk wanita Indonesia. Hal ini membuat ada semacam dualisme dikalangan wanita muslim, terpelajar. Pertama mereka kuat dalam segi syari’ah. Artinya tahu banyak tentang kriteria seorang muslimah yang baik yang sesuai dengan Alqur’an dan hadits. Kedua mereka cenderung gamang tatkala dihadapkan dengan tuntutan realitas zamannya sebagai dampak dari globalisasi, seperti karir, emansipasi, persamaan hak dll. Akibatnya terjadi tarik menarik antara dua kepentingan tadi yang justru sebetulnya tidak perlu terjadi jika mereka memahami dengan benar akan peran dan fungsi mereka yang telah ditetapkan syariat.
Banyak persoalan yang dialami oleh kaum wanita di abad modern ini, oleh karena itu tidaklah mudah untuk mengaplikasikan konsep–konsep yang kaum wanita terima di majelis ilmu and be perfect sebagai seorang muslimah. Terutama bagi kaum wanita yang sudah sampai merambah perguruan tinggi kemudian lulus serta dihadapkan pada kenyataan harus bekerja atau mencari nafkah.
Saat wanita dalam bencana, Islam datang mengangkat mereka. Ketika wanita tengah di penjara, Islamlah yang membebaskannya. Di saat wanita tidak dijamin hak-haknya, Islam memberikannya. Bahkan hak-hak wanita yang ditetapkan oleh Islam sangat banyak, lebih daripada kewajiban yang dibebankan kepadanya. Berbagai kewajiban yang berat-berat, telah dibebankan kepada laki-laki dan wanita telah dilepaskan dari beban yang berat ini. Meski demikian hak-hak yang diberikan Islam tidaklah mengorbankan fitrah wanita, melainkan dibingkai indah sehingga selaras dengan fitrah yang bersih. Sungguh, aturan manakah yang lebih baik dibandingkan aturan Islam?.
***
Rumah Adalah Istana Kaum Wanita
Di antara keagungan syariat Islam adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, termasuk dalam dunia laki-laki dan wanita. Islam mengatur bahwa laki-lakilah yang bertugas keluar rumah untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Dan hak para istri atas kalian (suami) agar kalian memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Muslim).
Di sisi lain, Islam menempatkan wanita di dalam rumah untuk mengurusi anak, mempersiapkan keperluan suami, serta urusan rumahtangga lainnya. Tugas ini adalah tugas yang sangat mulia. Dari hasil didikan para wanita yang sholihah inilah terlahir generasi Islam yang shalih, tangguh dan taat kepada Allah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal ini dalam sabdanya yang mulia, “Dan wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (mutaffaqun alaihi).
Demikian juga Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan hendakla kamu tetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.“ (Al Ahzab: 33)
Namun hal di atas tidaklah berarti wanita dilarang keluar rumah jika memang ada sebuah keperluan yang harus dikerjakan di luar rumah, tentunya dengan tetap menjaga aturan yang telah ditetapkan Islam ketika wanita keluar rumah.
Syaikh Bin Baaz rahimahullah mengatakan, “Tinggalnya wanita di rumah untuk mengerjakan tugas kewanitaanya, setelah dia mengerjakan kewajibannya pada Allah adalah suatu hal yang sesuai dengan fitrah dan kodratnya. Hal ini akan mewujudkan kebaikan bagi pribadinya sendiri, masyarakat maupun generasi yang akan datang. Jika masih punya waktu luang maka bisa digunakan untuk bekerja yang sesuai dengan kodrat kewanitaan seperti mengajar wanita, mengobati dan merawat mereka serta pekerjaan lain yang semisalnya. Ini semua sudah cukup menyibukkan bagi seorang wanita dan akan bisa membantu kaum laki-laki dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Jangan lupa peran Ummahatul Mu’minin, mereka mengajarkan kebaikan (baca: ilmu agama) pada umat ini namun tetap disertai dengan hijab dan tidak bercampur dengan laki-laki…“
Demikian pula ajaran agama Islam yang lainnya seperti perintah untuk berhijab, larangan berbicara dengan suara mendayu-dayu, larangan memakai parfum yang berlebih-lebihan ketika melewati pria, dan sebagainya. Semuanya adalah untuk menjaga kehormatan dan martabat wanita.
“Tidak seorang pun ulama yang melarang kaum wanita untuk bekerja mencari uang. Perbedaan pendapat hanya terjadi mengenai lapangan pekerjaan apa yang boleh untuk dirambah oleh kaum wanita. Penjelasannya adalah bahwa seorang wanita memiliki tanggung jawab menyelesaikan beberapa tugas rumah tangga dalam keluarganya seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian dan semua jenis bantuan yang bisa ia lakukan untuk rumah tangga dan keluarganya.
Adapun untuk lapangan pekerjaan di luar rumah yang diperbolehkan bagi kaum wanita adalah seperti menjadi seorang guru dan pedagang. Sebagai contoh kerja di pabrik jahit atau lapangan pekerjaan lain yang tidak membawa terbukanya maksiyat yang dilarang oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seperti berduaan di tempat kerja dengan laki-laki asing, atau bercampur di tempat kerja dengan laki-laki yang bukan mahram-nya (ikhtilat), karena besar kemungkinannya hal ini akan melahirkan fitnah bagi dirinya dan rumah tangganya. Pekerjaan lain yang membuat dirinya lalai melakukan tugas rumah tangganya (tanpa menunjuk seseorang untuk mengurusnya/pembantu atau saudara) juga dilarang dalam agama. Bekerja (Pekerjaan) tanpa izin keluarga dan atau suaminya juga larangan dalam agama islam.
Beberapa Kesimpulan yang bisa diambil:
Kewajiban utama wanita adalah dirumahnya dan tetap dirumahnya, menjalankan segala aktivitas rumah tangganya. Itu adalah keutamaan yang tidak bisa dibeli dan dibandingkan dengan kesuksesan karirnya di luar rumah, begitu banyak hadist dan sunnah rasulullah menjelaskan tentang keutamaan dan kedudukan kaum wanita di dalam rumahnya. Kewajiban dan keutamaan diatas menjadikan pertimbangan utama bagi kaum wanita ketika memutuskan untuk bekerja diluar rumahnya.
Cukup dan tidaknya penghasilan suami adalah tergantung pada bagaimana setiap diri muslim bersikap wara’ dan zuhud terhadap dunia. Ilmu dan agama lah yang menjadi filternya. Hal ini juga pertimbangan tambahan untuk wanita bila memutuskan bekerja.
Bekerja boleh bagi wanita, hanya saja harus ada syarat-syarat syar’i yang harus dipenuhi seperti penjelasan Syaikh Bin Baz rahimahullahu ta’ala diatas. Adapun jika kita masih menemukan fakta dilapangan yang belum sesuai dengan tuntutan agama, maka hal ini menjadi PR dan bahan renungan bagi kita semua kaum wanita. Wanita yang sholeh dan cerdas adalah wanita yang tahu apa-apa yang dibutuhkannya bagi dunia dan terutama akhiratnya. Mengenali diri pribadi dan potensi diri, dengan pembekalan ilmu dan agama yang cukup sangat dibutuhkan bagi kaum wanita untuk tetap tegar, bersabar dalam kehidupan, wara’ dan memilih serta mencari yang terbaik bagi dirinya dan agamanya.
0 komentar:
Posting Komentar